MUDHARABAH DAN
MUSYARAKAH
(DASAR HUKUM,
RUKUN, SYARAT DAN APLIKASAINYA)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbankan baik
itu perbankan konvensional ataupun syariah dalam operasionalnya meliputi 3
aspek pokok, yaitu penghimpunan dana (funding), pembiayaan (financing) dan jasa
(service). Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
bank umum syariah dalam usaha untuk menghimpun dana dapat melakukan usaha dalam
bentuk simpanan berupa tabungan, giro atau bentuk lainnya baik berdasarkan akad
wadi’ah, mudharabah atau akad lainnya yang tidak bertentangan. Sedangkan dari
sisi pembiayaan, perbankan syariah dapat menyalurkan pembiayaan berdasarkan
akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, qardh, atau akad lain yang sesuai dengan syariah. Sedangkan kegiatan jasa yang dapat dilakukan oleh
bank umum syariah berdasarkan Undang-Undang tersebut diantaranya berupa akad
hiwalah, kafalah, ijarah, dan lain-lain. Dalam makalah ini penulis akan
menjelaskan tentang mudharabah serta macam-macamnya.
Dalam
operasional bank Syariah mudharabah merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan
yang akan diberikan kepada nasabahnya sistem dari mudharabah ini merupakan akad
kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. keuntungan usaha dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam kontrak mudharabah ini
mudharib (sipengelola) harus menjalankan kewajibannya menjalankan usaha dengan
cara sebaik-baiknya dan bentuk usaha harus jelas dan sesuai dengan prisip
Syariah bukan yang berlawanan dengan itu seperti usaha yang diharamkan oleh
Allah swt. Maka dari itu penulis ingin lebih jauh mengetahui bagaimana jalannya
system pembiayan ini (mudharabah) dalam suatu operasional bank syariah secara
jelas.
Mudharabah dan
musyarakah merupakan ciri khas dari ekonomi syariah, yang lebih mengedepankan
hubungan kerja sama diantara dua atau lebih pihak. Konsep mudharabah bukan
merupakan turunan dari konsep di ekonomi konvensional. Ini berbeda dengan
produk pada perbankan syariah lainnya yang sebagian besar merupakan turunan
dari produk bank konvesional ditambah dengan pendekatan akad atau konsep
syariah.
B. Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
yang di maksud dengan mudharabah dan musyarakah dan macam-macamnya
2.
Bagaimana konsep mudharabah dan musyarakah
dalam aplikasi perbankan syari’ah?
C. Tujuan
Penulis
mengambil judul makalah ini agar penulis khususnya dan pembaca umumnya dapat
lebih mengetahui tentang pembiayaan mudharabah dan musyarakah serta paham bagaimana
aplikasinya dalam perbankan syari’ah.
PEMBAHASAN
I.
MUDHARABAH
A.
PENGERTIAN
MUDHARABAH
Mudharabah
berasal dari bahasa arab dharb, bertarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam menjalankan usaha. secara teknis,
al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kerlalaian sipengelola, si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah atau
penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang
berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini
melibatkan dua pihak: pihak yang memiliki modal, namun tidak bisa berbisnis.
Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui
usaha ini, keduanya saling melengkapi.
Kontrak
mudharabah dibentuk secara bebas antara kedua orang atau lebih dengan tujuan mencari
keuntungan yang kemudian untuk dibagikan antara pemilik modal dengan pengelola
modal, berdasarkan kesepakatan mutualilitas dan secara fair dan sama. Mitra
yang aktif (pengelola) secara bebas melakukan perdagangan dengan modal yang
dipercayakan kepadanya dengan jalan yang ia anggap terbaik, serta dapat
meningkatkan hasil dari bisnis sesuai dengan yang tersebut di dalam kontrak.
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan kepada pengelola (mudharib), akad kemitraan ini
dibagi menjadi dua tipe yaitu:
1.
Mudharabah
Mutlaqah
Yaitu pemilik modal memberikan kebebasan penuh kepada pengelola
untuk menggunakan modal tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan
menguntungkan.
2.
Mudharabah
Muqayyad
Yaitu pemilik modal menentukan syarat dan pembatasan kepada
pengelola dalam menggunakan modal tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis
usaha dan sebagainya.
B.
Mudharabah
Menurut Literatur Fiqh
Dalam fikih mu’amalah
Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik
modal (shohibul mal/rabbul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan
usaha dimana keuntungan dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak
tersebut, dengan rukun dan syarat tertentu.
Mudharabah menurut bahasa
diambil dari bahasa arab yaitu dharb, maksudnya Adharbu fil ardhi yaitu
bepergian untuk berurusan dagang, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al
Mujammil ayat 20:“ Dan yang lainnya bepergian dimuka bumi mencari karunia dari
Allah”. ( QS. 73: 20 )
Menurut pandangan ulama
ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah
seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan
dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Ulama madzhab Syafi’i
Mudharabah adalah sebagai berikut :“ Mudharabah adalah akad ( transaksi )
antara dua orang atau lebih, diantara yang satu menyerahkan harta atau modal
kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-masing mendapatkan keuntungan
dengan syarat-syarat tertentu “.
Menurut Ulama Malikiyyah
berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwalian, dimana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (emas dan perak).
Menurut M. Syafi’i
Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharib)
menjadi pengelola, dimana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase
(nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian
itu diakibatkan oleh kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
C.
Landasan Syari’ah
secara
umum landasan dasar Syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat dan hadis berikut ini:
1.
Al-Qur’an
“………dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah……… ” (Q.S Al-Muzammil: 20)
Yang menjadi Wajhud – dilalah atau argumen dari Qur’an
Surat Al-Muzammil: 20 di atas
adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan akar kata
Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung” (Q.S Al-Jumuah: 10)
2.
A. Hadits
“diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas
bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah
ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah
yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
3.
A. Ijma’
Imam zailai, dalam kitabnya Nasbu ar Rayah (4/13),
telah menyatakan bahwa para Sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi
pengolahan harta yatim secara Mudharabah , kesepakatan para Shahabat ini
sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitab Al amwal (454) .
D.
RUKUN DAN SYARAT SAH AKAD MUDHARABAH
Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua
kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya
kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas ekonomi.
Pembiayaan mudharabah tersebut tidaklah terlepas dari mekanisme
pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan rukun dalam
akad, sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Fiqhiyah dan juga Dewan Syariah
Nasional MUI tentang mudharabah (qiradh). Rukun adalah sesuatu yang
wajib ada dalam suatu transaksi sedangkan syarat adalah sesuatu yang
keberadaannya melengkapi rukun. Namun syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh
dicampurkan. Oleh karena itu keabsahan suatu perjanjian pembiayaan mudharabah
tidak terlepas dari pada pemenuhan rukun dan syarat mudharabah itu
sendiri.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah
hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan menurut ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah, rukun mudharabah ada enam yaitu:
1.
Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2.
Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3.
Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4.
Mal, yaitu harta pokok atau modal
5.
'Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba atau
keuntungan
6.
Keuntungan.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah
adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian, selain itu
rukun mudharabah terbagi kepada lima, yaitu:
a.
Pemodal
b.
Pengelola
c.
Modal
d.
Nisbah keuntungan
e.
Sighat atau Akad.
Selanjutnya faktor-faktor yang harus ada
(rukun) dalam akad mudharabah yaitu:
- Pelaku (pemilik modal maupun
pelaksana usaha)
- Objek mudharabah
- Persetujuan kedua belah pihak (ijab
qabul)
- Nisbah keuntungan.
Pada dasarnya syarat-syarat sah mudharabah
berhubungan dengan rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah
adalah sebagai berikut:
a. Modal
atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk emas
atau perak batangan (tabar), emas hiasan (imitasi) atau barang dagangan
lainnya, maka mudharabah tersebut batal dengan sendirinya.
b. Bagi
orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf.
Sedangkan akad yang dilakukan anak-anak yang masih kecil, orang gila dan
orang-orang yang berada di bawah pengampuan, maka akadnya batal atau tidak sah.
c. Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
d. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
seperti setengah, sepertiga atau seperempat.
e. Melafazdkan
ijab dari pemilik modal, misalnya: "Aku serahkan uang ini kepadamu
untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua" dan kata-kata qabul
dari pengelola.
f. Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu
tertentu, sementara di waktu-waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat
sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila
dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut
menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Imam Syafi'i dan Malik. Sedangkan
menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, mudharabah tersebut sah
hukumnya.
Menurut Sayyid Sabiq, syarat-syarat mudharabah
yaitu:
1.
Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara
tertulis maupun lisan.
2. Perjanjian
mudharabah dapat pula dilangsungkan antara beberapa shahibul mal
dan beberapa mudharib.
3. Pada
hakikatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal mudharabah
kepada mudharib. Jika hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian mudharabah
menjadi tidak sah.
4. Yang
terkait dengan orang yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak
hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5. Shahib
al-mal berkewajiban menyediakan dana yang dipercayakan kepada mudharib
untuk membiayai suatu proyek atau kegiatan usaha. Sedangkan mudharib
berkewajiban menyediakan keahlian, waktu, pikiran dan upaya untuk mengelola
proyek atau kegiatan usaha tersebut dan berusaha untuk memperoleh keuntungan
semaksimal mungkin.
6. Shahib
al-mal berhak memperoleh kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha mudharabah
tersebut bila usahanya telah diselesaikan oleh mudharib dan jumlah hasil
likuidasi usaha mudharabah cukup untuk pengembalian dana investasi.
7. Shahib
al-mal tidak dapat meminta jaminan dari mudharib atas pengembalian
investasinya. Persyaratan yang demikian itu dalam perjanjian mudharabah
batal dan tidak berlaku.
8. Shahib
al-mal berhak melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa mudharib
mentaati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah.
9. Modal
yang harus disediakan oleh shahib al-mal disyaratkan berbentuk uang,
jelas jumlahnya dan tunai.
10. Keuntungan
bersih dibagi antara shahib al-mal dan mudharib berdasarkan
prinsip profit and loss sharing (PLS).
11. Apabila
terjadi kerugian, maka shahib al-mal akan kehilangan sebagian atau
seluruh modalnya, sedangkan mudharib tidak menerima remunerasi (imbalan)
apa pun untuk kerja dan usahanya (jerih payahnya). Jadi, baik posisi shahib
al-mal maupun mudharib harus menghadapi resiko (mukhatara).
Berdasarkan pembahasan mengenai rukun dan
syarat mudharabah menurut konsep fiqh muamalah di atas, menunjukkan
bahwa segala rukun dan syarat mudharabah harus lengkap dan terpenuhi
menurut aturannya, karena apabila salah satu rukun dan syarat mudharabah tidak
ada, maka segala transaksi yang berkaitan dengan mudharabah tidak akan
sah dan sempurna.
E.
APLIKASI PADA PERBANKAN SYARIAH
Bentuk-bentuk
usaha mudharabah pada bank syari‟ah :
Ini
dapat berupa :
a.
Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah:
1).
Menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan,
deposito,
atau bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.
2).
Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha.
3).
Melakukan kegiatan usaha lain yang lazim bagi bank sepanjang disetujui oleh
Dewan
Syari‟ah Nasional.
b.
Pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
Bentuk-bentuk
usaha mudharabah pada bank ini dapat berupa :
1).
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau
bentuk
lain yang menggunakan bentuk mudharabah.
2).
Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.
3).
Melakukan kegiatan atau usaha lain yang lazim bagi BPR sepanjang disetujui
oleh Dewan Syari‟ah Nasional.
II.
MUSYARAKAH
A.
PENGERTIAN MUSYARAKAH
Menurut
Hanafiyah syirkah adalah : Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat
mengenai pokok harta dan keuntungannya. Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah
: Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing
mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara
kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta
tersebut) bagi masing-masing.
Menurut
Hanabilah : Berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum. Sedangkan menurut
Syafi‟iyah : Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara
merata. Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis[7] musyarakah adalah
kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal
atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung
jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau
syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih
pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di
mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Meskipun
rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat
difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa
pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh
keuntungan bersama.
B.
DASAR HUKUM
1.
Al- Quran
firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang artinya:
dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada yang
sepertiga itu. dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : Saya yang
ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati
yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar
dari keduanya.
2.
HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
Macam-macam
musyarakah Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah
tentang kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad
antara kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara
bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan
manusia, seperti bersamasama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula
yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris.
Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara
pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a.
Syarikat ‘inan, yaitu syarikat antara dua orang atau beberapa
orang mengenai harta, baik mengenai modalnya, pengelolannya ataupun
keuntungannya. Pembagian keuntungan tidak harus berdasarkan besarnya
partisipasi, tetapi adalah berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian.
b.
Syarikat mufawadhah, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih
mengenai harta, baik mengenai modal, pekerjaan ataupun tanggungjawab, maupun
mengenai hasil atau keuntungan.
c.
Syarikat wujuh, yakni syarikat antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan tingkat profesinal yang baik mengenai sesuatu
pekerjaan/bisnis, dimana mereka membeli barang dengan kredit dan menjualnya
secara tunai dengan jaminan reputasi mereka. Musyarakah seperti ini lazim juga
disebut musyarakah piutang.
d.
Syarikat a’maal, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih yang
seprofesi untuk menerima pekerjaan bersama- sama dan membagi untung bersama
berdasarkankesepakatan dalam perjanjian.
e.
Definisi Musyarakah Mutanaqishah Musyarakah mutanaqishah merupakan
produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah adalah syirkah yang
berasal dari kata syaraka-yusyriku- syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang
berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah
adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah
berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti
mengurangi secara bertahap. Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership)
adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu
barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah
satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan
kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain.
Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada
pihak lain.
C.
RUKUN
DAN SYARAT-SYARAT MUSYARAKAH
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat
suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Mengenai rukun perikatan atau
sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam, terdapat beraneka
ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi menyatakan
bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqad, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan
syarat aqad adalah al-‘aqidain (subyek aqad) dan mahallul-‘aqd
(obyek aqad). Alasannya adalah al-‘aqidanin dan mahallul ‘aqd
bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua
hal tersebut berbeda diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapa dari
kalangan Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk
Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk
rukun aqad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya
aqad.
a.
Rukun-Rukun Musyarakah
Dari segi hukumnya melakukan kerjasama dengan
menggunakan sistem musyarakah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam
Islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah
ditetapkan. Adapun rukun musyarakah yang disepakati oleh jumhur
ulama adalah:
1.
Shigat (lafal) ijab dan qabul
2.
Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
3.
Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Sighah al-aqad merupakan rukun
akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak
yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqad dinyatakan melalui ijab
dan kabul, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami
b.
Antara ijab dan kabul harus dapat kesesuaian
c.
Pernyataan ijab kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak
boleh ada yang meragukan.
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan
ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Seperti
penawaran dan penerimaan harus ditunjukkan secara eksplisit sebagai tujuan
kontrak. Akad juga dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Pihak-pihak yang melakukan akad harus cakap
hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu
juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan
perjanjian yang disepakati bersama.
Rukun yang menyangkut tentang obyek akad
meliputi modal, kerja, keuntungan dan kerugian syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut:
a.
Modal
Menurut Ibnul
Qasim Imam Malik, dan Imam Hanafi berpendapat bahwa modal dari harta serikat
tidak mesti dari barang yang sama boleh saja berupa uang dan barang. Mereka
berpendapat bahwa likuiditas modal bukan merupakan syarat sahnya musyarakah.
Berbeda halnya
dengan pendapat Imam Syafi’i, Menurut beliau modal hanya boleh dengan uang
saja. Pendapat ini disebabkan karena imam Syafi’i menyamakan antara musyarakah
dengan qiradh, sehingga tidak boleh dilakukan jika bukan dengan uang.
Modal bersama
yang sudah terkumpul tersebut tidak boleh dinjamkan, disumbangkan atau
dihadiahkan kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
b.
Kerja
Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa dalam kerjasama diperbolehkan menerima perwakilan. Para pihak
yang bekerjasama harus mempunyai kelayakan dalam hal memberi dan menerima
perwakilan.
Prinsip dasar
dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam
manajemen dan bekerja untuk usaha tersebut. Namun demikian, para mitra dapat
pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari
mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi menjadi bagian manajemen dari musyarakah.
c.
Keuntungan dan kerugian
Imam malik dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan
yang ditentukan sebelumnya dalam aqad sesuai dengan proporsi modal yang
disertakan. Begitula pula dengan kerugian yang dialami, semuanya harus sesuai
dengan jumlah modal yang diberikan.
Imam Ahmad bin
Hanbal menyebutkan bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal
yang mereka sertakan. Sedang mazhab Hanafi menyebutkan pembagian keuntungan
sama dengan harta atau kerja yang diberikan.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat
masing-masing ulama, akan tetapi mereka semua setuju bahwa penentuan jumlah
yang pasti bagi setiap mitra tidak dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak
mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan
mitra yang lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut. Selain
itu juga harus diketahui bahwa jika seorang mitra memutuskan untuk menjadi sleeping
partner maka proporsi keuntungan yang didapatkannya tidak boleh
melebihi modal.
D.
APLIKASI PADA PERBANKAN SYARIAH
Implementasi
dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank
syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda).
Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan
dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam
kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur)
sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan
dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal
nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran
berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya
menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang
atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih
kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga
berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan
dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk
pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa
adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap
aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan
kompensasi jasa bank syariah.
Bentuk-bentuk
usaha musyarakah pada Bank Syari‟ah
Di
antara bentuk usaha musyarakah pada bank syari‟ah, antara lain:
a.
Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
1).
Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
2).
Memberikan fasilitas letter of credit (L/C)
3).
Penyertaan modal dengan perusahaan atau bank yang lain yang juga
mendasarkan
usahanya kepada prinsip-prinsip syari‟ah.
b. Pada
BPR Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah :
1).
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, ini dapat berupa :
a).
Tabungan
b).
Deposito berjangka.
2). Melakukan penyaluran dana melalui bagi hasil.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penerapan
sistem Ekonomi Syariah dalam praktik perbankan di Indonesia termasuk didalamnya
prinsip Mudharabah dan Musyarakah diperlukan acuan yang jelas agar tercitanya
sistem perbankan syariah yang akan menjadi alternatif masalah perekonomian saat
ini. Selain itu acuan tersebut dapat memberikan informasi kepada masyarakat
luas tetang keberadaan perbankan syariah di Indonesia. Dasar Hukum, Rukun,
Syarat dan Aplikasinya selain menjadi acuan dalam melakukan praktik perbankan
syariah juga dapat menjadi informasi bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek,
Gema Insani,
Jakarta, 2001.
Ghufron, Sofiniyah dkk. (Penyunting), Konsep dan Implementasi
Bank Syari’ah, Renaisan,
Jakarta, 2005.
Algaoud, M. Latifa dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari’ah,
Prinsip, Praktik dan
Prospek, (Terjemahan Burhan Wirasubrata), PT. Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta, 2005.
Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu, Juz
IV, Daar Al-Fikri,
Damaskus, 1989.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang
Murabahah no:04/DSN-
MUI/IV/2000,
dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, MUI(Jakarta: 2006)