Selasa, 16 Oktober 2012

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH


MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
(DASAR HUKUM, RUKUN, SYARAT DAN APLIKASAINYA)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbankan baik itu perbankan konvensional ataupun syariah dalam operasionalnya meliputi 3 aspek pokok, yaitu penghimpunan dana (funding), pembiayaan (financing) dan jasa (service). Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank umum syariah dalam usaha untuk menghimpun dana dapat melakukan usaha dalam bentuk simpanan berupa tabungan, giro atau bentuk lainnya baik berdasarkan akad wadi’ah, mudharabah atau akad lainnya yang tidak bertentangan. Sedangkan dari sisi pembiayaan, perbankan syariah dapat menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, qardh, atau akad lain yang sesuai dengan syariah. Sedangkan kegiatan jasa yang dapat dilakukan oleh bank umum syariah berdasarkan Undang-Undang tersebut diantaranya berupa akad hiwalah, kafalah, ijarah, dan lain-lain. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang mudharabah serta macam-macamnya.
Dalam operasional bank Syariah mudharabah merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya sistem dari mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam kontrak mudharabah ini mudharib (sipengelola) harus menjalankan kewajibannya menjalankan usaha dengan cara sebaik-baiknya dan bentuk usaha harus jelas dan sesuai dengan prisip Syariah bukan yang berlawanan dengan itu seperti usaha yang diharamkan oleh Allah swt. Maka dari itu penulis ingin lebih jauh mengetahui bagaimana jalannya system pembiayan ini (mudharabah) dalam suatu operasional bank syariah secara jelas.
Mudharabah dan musyarakah merupakan ciri khas dari ekonomi syariah, yang lebih mengedepankan hubungan kerja sama diantara dua atau lebih pihak. Konsep mudharabah bukan merupakan turunan dari konsep di ekonomi konvensional. Ini berbeda dengan produk pada perbankan syariah lainnya yang sebagian besar merupakan turunan dari produk bank konvesional ditambah dengan pendekatan akad atau konsep syariah.
B. Rumusan Masalah
1.      Jelaskan yang di maksud dengan mudharabah dan musyarakah dan macam-macamnya
2.       Bagaimana konsep mudharabah dan musyarakah dalam aplikasi perbankan syari’ah?
C. Tujuan
Penulis mengambil judul makalah ini agar penulis khususnya dan pembaca umumnya dapat lebih mengetahui tentang pembiayaan mudharabah dan musyarakah serta paham bagaimana aplikasinya dalam perbankan syari’ah.









PEMBAHASAN
I.            MUDHARABAH
A.    PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari bahasa arab dharb, bertarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung  oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kerlalaian sipengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini melibatkan dua pihak: pihak yang memiliki modal, namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.
Kontrak mudharabah dibentuk secara bebas antara kedua orang atau lebih dengan tujuan mencari keuntungan yang kemudian untuk dibagikan antara pemilik modal dengan pengelola modal, berdasarkan kesepakatan mutualilitas dan secara fair dan sama. Mitra yang aktif (pengelola) secara bebas melakukan perdagangan dengan modal yang dipercayakan kepadanya dengan jalan yang ia anggap terbaik, serta dapat meningkatkan hasil dari bisnis sesuai dengan yang tersebut di dalam kontrak.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pengelola (mudharib), akad kemitraan ini dibagi menjadi dua tipe yaitu:
1.      Mudharabah Mutlaqah
Yaitu pemilik modal memberikan kebebasan penuh kepada pengelola untuk menggunakan modal tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
2.      Mudharabah Muqayyad
Yaitu pemilik modal menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam menggunakan modal tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
B.     Mudharabah Menurut Literatur Fiqh
     Dalam fikih mu’amalah Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik modal (shohibul mal/rabbul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha dimana keuntungan dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak tersebut, dengan rukun dan syarat tertentu.
    Mudharabah menurut bahasa diambil dari bahasa arab yaitu dharb, maksudnya Adharbu fil ardhi yaitu bepergian untuk berurusan dagang, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Mujammil ayat 20:“ Dan yang lainnya bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah”. ( QS. 73: 20 )
    Menurut pandangan ulama ahli fiqih (fuqaha) Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan dan laba dibagi sesuai dengan kesepakatan.
    Ulama madzhab Syafi’i Mudharabah adalah sebagai berikut :“ Mudharabah adalah akad ( transaksi ) antara dua orang atau lebih, diantara yang satu menyerahkan harta atau modal kepada pihak kedua untuk dijalankan usaha, dan masing-masing mendapatkan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu “.
    Menurut Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad perwalian, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
    Menurut M. Syafi’i Antonio, mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharib) menjadi pengelola, dimana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
C.     Landasan Syari’ah
secara umum landasan dasar Syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat dan hadis berikut ini:
1.      Al-Qur’an
“………dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah……… ” (Q.S Al-Muzammil: 20)
Yang menjadi Wajhud – dilalah atau argumen dari Qur’an Surat Al-Muzammil: 20 di atas
adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S Al-Jumuah: 10)
2.      A. Hadits
“diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
3.      A. Ijma’
Imam zailai, dalam kitabnya Nasbu ar Rayah (4/13), telah menyatakan bahwa para Sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara Mudharabah , kesepakatan para Shahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitab Al amwal (454) .
D.    RUKUN DAN SYARAT SAH AKAD MUDHARABAH
Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas ekonomi. Pembiayaan mudharabah tersebut tidaklah terlepas dari mekanisme pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan rukun dalam akad, sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Fiqhiyah dan juga Dewan Syariah Nasional MUI tentang mudharabah (qiradh). Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi sedangkan syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Namun syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampurkan. Oleh karena itu keabsahan suatu perjanjian pembiayaan mudharabah tidak terlepas dari pada pemenuhan rukun dan syarat mudharabah itu sendiri.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, rukun mudharabah ada enam yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
2.      Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3.      Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4.      Mal, yaitu harta pokok atau modal
5.      'Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba atau keuntungan
6.      Keuntungan.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian, selain itu rukun mudharabah terbagi kepada lima, yaitu:
a.       Pemodal
b.      Pengelola
c.       Modal
d.      Nisbah keuntungan
e.       Sighat atau Akad.
Selanjutnya faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah yaitu:
  1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
  2. Objek mudharabah
  3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab qabul)
  4. Nisbah keuntungan.
Pada dasarnya syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
a.     Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan (imitasi) atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut batal dengan sendirinya.
b.    Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf. Sedangkan akad yang dilakukan anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan, maka akadnya batal atau tidak sah.
c.    Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
d.  Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti setengah, sepertiga atau seperempat.
e.    Melafazdkan ijab dari pemilik modal, misalnya: "Aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua" dan kata-kata qabul dari pengelola.
f.    Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu-waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Imam Syafi'i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, mudharabah tersebut sah hukumnya.
Menurut Sayyid Sabiq, syarat-syarat mudharabah yaitu:
1.  Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan.
2.   Perjanjian mudharabah dapat pula dilangsungkan antara beberapa shahibul mal dan beberapa mudharib.
3.   Pada hakikatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib. Jika hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian mudharabah menjadi tidak sah.
4.   Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5.   Shahib al-mal berkewajiban menyediakan dana yang dipercayakan kepada mudharib untuk membiayai suatu proyek atau kegiatan usaha. Sedangkan mudharib berkewajiban menyediakan keahlian, waktu, pikiran dan upaya untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha tersebut dan berusaha untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin.
6.   Shahib al-mal berhak memperoleh kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha mudharabah tersebut bila usahanya telah diselesaikan oleh mudharib dan jumlah hasil likuidasi usaha mudharabah cukup untuk pengembalian dana investasi.
7.   Shahib al-mal tidak dapat meminta jaminan dari mudharib atas pengembalian investasinya. Persyaratan yang demikian itu dalam perjanjian mudharabah batal dan tidak berlaku.
8.   Shahib al-mal berhak melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa mudharib mentaati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudharabah.
9.   Modal yang harus disediakan oleh shahib al-mal disyaratkan berbentuk uang, jelas jumlahnya dan tunai.
10. Keuntungan bersih dibagi antara shahib al-mal dan mudharib berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS).
11. Apabila terjadi kerugian, maka shahib al-mal akan kehilangan sebagian atau seluruh modalnya, sedangkan mudharib tidak menerima remunerasi (imbalan) apa pun untuk kerja dan usahanya (jerih payahnya). Jadi, baik posisi shahib al-mal maupun mudharib harus menghadapi resiko (mukhatara).
Berdasarkan pembahasan mengenai rukun dan syarat mudharabah menurut konsep fiqh muamalah di atas, menunjukkan bahwa segala rukun dan syarat mudharabah harus lengkap dan terpenuhi menurut aturannya, karena apabila salah satu rukun dan syarat mudharabah tidak ada, maka segala transaksi yang berkaitan dengan mudharabah tidak akan sah dan sempurna.
E.     APLIKASI PADA PERBANKAN SYARIAH
Bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank syari‟ah :
Ini dapat berupa :
a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah:
1). Menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan dalam bentuk tabungan,
deposito, atau bentuk lainnya yang berbentuk mudharabah.
2). Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan usaha.
3). Melakukan kegiatan usaha lain yang lazim bagi bank sepanjang disetujui oleh
Dewan Syari‟ah Nasional.
b. Pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
Bentuk-bentuk usaha mudharabah pada bank ini dapat berupa :
1). Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau deposito atau
bentuk lain yang menggunakan bentuk mudharabah.
2). Melakukan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil.
3). Melakukan kegiatan atau usaha lain yang lazim bagi BPR sepanjang disetujui
oleh Dewan Syari‟ah Nasional.
II.            MUSYARAKAH
A.    PENGERTIAN MUSYARAKAH
Menurut Hanafiyah syirkah adalah : Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya. Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah : Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.
Menurut Hanabilah : Berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum. Sedangkan menurut Syafi‟iyah : Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata. Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis[7] musyarakah adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah  adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama.
B.     DASAR HUKUM
1.      Al- Quran
firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang artinya: dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada yang sepertiga itu. dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : Saya yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari keduanya.
2.      HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
Macam-macam musyarakah Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersamasama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris. Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a.       Syarikat ‘inan, yaitu syarikat antara dua orang atau beberapa orang mengenai harta, baik mengenai modalnya, pengelolannya ataupun keuntungannya. Pembagian keuntungan tidak harus berdasarkan besarnya partisipasi, tetapi adalah berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian.
b.      Syarikat mufawadhah, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih mengenai harta, baik mengenai modal, pekerjaan ataupun tanggungjawab, maupun mengenai hasil atau keuntungan.
c.       Syarikat wujuh, yakni syarikat antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan tingkat profesinal yang baik mengenai sesuatu pekerjaan/bisnis, dimana mereka membeli barang dengan kredit dan menjualnya secara tunai dengan jaminan reputasi mereka. Musyarakah seperti ini lazim juga disebut musyarakah piutang.
d.      Syarikat a’maal, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih yang seprofesi untuk menerima pekerjaan bersama- sama dan membagi untung bersama berdasarkankesepakatan dalam perjanjian.
e.       Definisi Musyarakah Mutanaqishah Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyriku- syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap. Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.

C.     RUKUN DAN SYARAT-SYARAT MUSYARAKAH
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqad, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat aqad adalah al-‘aqidain (subyek aqad) dan mahallul-‘aqd (obyek aqad). Alasannya adalah al-‘aqidanin dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berbeda diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapa dari kalangan Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun aqad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya aqad.
a.        Rukun-Rukun Musyarakah
Dari segi hukumnya melakukan kerjasama dengan menggunakan sistem musyarakah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun  musyarakah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
1.      Shigat (lafal) ijab dan qabul
2.      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
3.      Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Sighah al-aqad merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqad dinyatakan melalui ijab dan kabul, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami
b.   Antara ijab dan kabul harus dapat kesesuaian
c.    Pernyataan ijab kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Seperti penawaran dan penerimaan harus ditunjukkan secara eksplisit sebagai tujuan kontrak. Akad juga  dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Pihak-pihak yang melakukan akad harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.
Rukun yang menyangkut tentang obyek akad  meliputi modal, kerja, keuntungan dan kerugian syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a.    Modal
Menurut Ibnul Qasim Imam Malik, dan Imam Hanafi berpendapat bahwa modal dari harta serikat tidak mesti dari barang yang sama boleh saja berupa uang dan barang. Mereka berpendapat bahwa likuiditas modal bukan merupakan syarat sahnya musyarakah.
Berbeda halnya dengan pendapat Imam Syafi’i, Menurut beliau modal hanya boleh dengan uang saja. Pendapat ini disebabkan karena imam Syafi’i menyamakan antara musyarakah dengan qiradh, sehingga tidak boleh dilakukan jika bukan dengan uang.
Modal bersama yang sudah terkumpul tersebut tidak boleh dinjamkan, disumbangkan atau dihadiahkan kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
b.   Kerja
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalam kerjasama diperbolehkan menerima perwakilan. Para pihak yang bekerjasama harus mempunyai kelayakan dalam hal memberi dan menerima perwakilan.
Prinsip dasar dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha tersebut. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi menjadi bagian manajemen dari musyarakah.
c.    Keuntungan dan kerugian
Imam malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam aqad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan. Begitula pula dengan kerugian yang dialami, semuanya harus sesuai dengan jumlah modal yang diberikan.
Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan. Sedang mazhab Hanafi menyebutkan pembagian keuntungan sama dengan harta atau kerja yang diberikan.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat masing-masing ulama, akan tetapi mereka semua setuju bahwa penentuan jumlah yang pasti bagi setiap mitra tidak dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan mitra yang lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa jika seorang mitra memutuskan untuk menjadi sleeping partner maka proporsi keuntungan yang didapatkannya tidak boleh melebihi modal.
D.    APLIKASI PADA PERBANKAN SYARIAH
Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran. Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.
Bentuk-bentuk usaha musyarakah pada Bank Syari‟ah
Di antara bentuk usaha musyarakah pada bank syari‟ah, antara lain:
a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :
1). Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
2). Memberikan fasilitas letter of credit (L/C)
3). Penyertaan modal dengan perusahaan atau bank yang lain yang juga
mendasarkan usahanya kepada prinsip-prinsip syari‟ah.
b. Pada BPR Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah :
1). Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, ini dapat berupa :
a). Tabungan
b). Deposito berjangka.
2). Melakukan penyaluran dana melalui bagi hasil.






PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Penerapan sistem Ekonomi Syariah dalam praktik perbankan di Indonesia termasuk didalamnya prinsip Mudharabah dan Musyarakah diperlukan acuan yang jelas agar tercitanya sistem perbankan syariah yang akan menjadi alternatif masalah perekonomian saat ini. Selain itu acuan tersebut dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas tetang keberadaan perbankan syariah di Indonesia. Dasar Hukum, Rukun, Syarat dan Aplikasinya selain menjadi acuan dalam melakukan praktik perbankan syariah juga dapat menjadi informasi bagi masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani,
Jakarta, 2001.
Ghufron, Sofiniyah dkk. (Penyunting), Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, Renaisan,
Jakarta, 2005.
Algaoud, M. Latifa dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktik dan
Prospek, (Terjemahan Burhan Wirasubrata), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005.

Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu, Juz IV, Daar Al-Fikri,
Damaskus, 1989.

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang Murabahah no:04/DSN-
MUI/IV/2000, dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, MUI(Jakarta: 2006)